Kuliah


TUGAS SOSIOLOGI PERTANIAN
INTERAKSI SOSIAL PADA MASYASRAKAT
PEDESAAN
DISUSUN OLEH:
NAMA : ICHSAN MUSTAQIM
NIM : 140304049
PROGRAM STUDI : AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TAHUN
2015




I.                  PENDAHULUAN

 1.1 Latar Belakang
            Sosiologi pertanian adalah suatu pengetahuan sistematis dari suatu  hasil penerapan metode ilmu dalam mempelajari masyarakat pedesaan, struktur sosial dan organisasi sosial, dan juga sistem perubahan dasar masyarakat dan  proses perubahan sosial yang terjadi. Tapi dalam pengertian ini tidak hanya cukup  mempelajari  saja,  tetapi kita harus benar-benar paham tentang penyebab terjadinya dan dampak atau akibat dari segala tindakan sosial yang terdapat pada desa tersebut (Nasution, 1983).
            Sosiologi pertanian cenderung mengarah pada kehidupan keluarga petani yang mencakup dalam hubungannya dengan kegiatan pertanian dikehidupan bermasyarakat, misalnya tentang pola-pola pertanian, kesejahteraan masyarakat, kebiasaan atau adat istiadat, grup sosial, organisasi sosial, pola komunikasi dan tingkat pendidikan masyarakat.Dalam sosiologi pertanian pula pastinya terjadi relasi struktural-fungsional dan simbolis antara petani dengan pemerintah dan pasar dalam tatanan lokal  yang membentuk sebuah struktur sosial. Relasi-relasi inilah yang menjadi tonggak bagaimana petani, pemerintah, pasar, dan aspek lainnya saling menunjang untuk pembangunan bidang pertanian ke arah yang lebih baik.Selain itu, terbangunnya relasi petani tersebut disebabkan oleh banyak faktor salah-satunya ialah problem mendasar bagi mayoritas petani Indonesia yaitu ketidakberdayaan  dalam melakukan negosiasi harga hasil produksinya. Posisi tawar petani pada saat ini  umumnya lemah, hal ini merupakan salah satu kendala dalam usaha  meningkatkan  pendapatan petani. Menurut Branson dan Douglas (1983), lemahnya posisi tawar petani umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar,  informasi pasar dan permodalan yang kurang memadai.
            Petani kesulitan menjual hasil panennya karena tidak punya jalur pemasaran  sendiri, akibatnya petani menggunakan sistim tebang jual. Dengan sistim ini sebanyak  40 % dari hasil penjualan panenan menjadi milik tengkulak. Peningkatan produktivitas pertanian tidak lagi menjadi jaminan  akan  memberikan keuntungan layak bagi petani tanpa adanya kesetaraan pendapatan antara  petani yang bergerak di sub sistem on farm dengan pelaku agribisnis di sub sektor hulu dan hilir. Kesetaraan pendapatan hanya dapat dicapai dengan peningkatan posisi tawar petani. Hal ini dapat dilakukan jika petani tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi menghimpun kekuatan dalam suatu lembaga yang betul-betul mampu menyalurkan aspirasi mereka. Oleh karena itu penyuluhan pertanian harus lebih tertuju pada upaya membangun kelembagaan. Lembaga ini hanya dapat berperan optimal apabila penumbuhan dan pengembangannya dikendalikan sepenuhnya oleh petani sehingga petani harus menjadi subjek dalam proses tersebut.Peningkatan posisi tawar petani dapat meningkatkan akses masyarakat  pedesaan dalam kegiatan ekonomi yang adil, sehingga bentuk kesenjangan dan kerugian yang dialami oleh para petani dapat dihindarkan.
1.2. Tujuan
            Tujuan pembuatan tugas ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Sosiologi Pertanian serta untuk menambah wawasan dan ilmu tentang pengaruh interaksi sosial dalam masyarakat.












II.                     PEMBAHASAN

     2.1. Pegertian Interaksi Sosial
            Interaksi Sosial adalah suatu proses hubungan timbal balik yang dilakukan oleh individu dengan individu, antara indivu dengan kelompok, antara kelompok dengan individu,antara kelompok dengan dengan kelompok dalam kehidupan sosial. Dalam kamus Bahasa Indonesia Innteraksi didifinisikan sebagai hal saling melalkukan akasi ,berhubungan atau saling mempengaruhi. Dengan demikian interaksi adalah hubungan timbale balik (sosial) berupa aksi salaing mempengaruhi antara indeividu dengan individu, antara individu dankelompok dan antara kelompok dengan dengan kelompok. Gillin mengartikan bahwa interaksi sosial sebagai hubungan-hubungan sosial dimana yang menyangkut hubungan antarandividu , individu dan kelompok antau antar kelompok. Menurut Charles P. loomis sebuah hubungan bisa disebut interaksi jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       jumlah pelakunya dua orang atau lebih
b.      adanya komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbul atau lambang-lambang
c.       adanya suatu demensi waktu yang meliputi ,asa lalu, masa kini, dan masa yang akan dating .
d.      adanya tujuan yang hendak dicapai.
 Syarat Terjadinya Interaksi Sosial
1. adanya kontak sosial
Kata kontak dalam bahasa inggrisnya “contack”, dari bahasa lain “con” atau “cum” yang artinya bersama-sama dan “tangere” yang artinya menyentuh . Jadi kontak berarti sama-sama menyentuh.Kontak sosial ini tidak selalu melalui interaksi atau hubungan fisik, karena orang dapat melakuan kontak sosial tidak dengan menyentuh,misalnya menggunakan HP, telepon dsb
2. Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dari satu pihak kepihak yang lain dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Ada lima unsure pokok dalam komunikasi yaitu
komunikator yaitu orang yang menyampaikan informasi atau pesan atau perasaan atau pemikiran pada pihak lain.
Komunikan yaitu orang atau sekelompok orang yang dikirimi pesan, pikiran, informasi.
Pesan yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.
Media yaitu alat untuk menyampaiakn pesan
Efek/feed back yaitu tanggapan atau perubahan yang diharapkan terjadi pada komunikan setelah mendapat pesan dari komunikator.

2.2. kondisi Umum Interaksi Pada Masyarakat Pedesaan
            Yang dimaksud dengan desa menurut Sukardjo Kartohadi adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemeritnahan sendiri. Menurut Bintaro desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan cultural yang terdapat disuatu daerah dalam hubungannya danpengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain.
Menurut Paul H.Landis, desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan ciri-ciri sebagai berikut :
Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.
Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuaan terhadap kebiasaan.
Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam sekitar seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yang amat kuat yang hakekatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimanapun ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama-sama sebagai masyarakat yang saling mencintai saling menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam masyarakat.
Masyarakat tersebut homogen, deperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya.
            Masyarakat pedesaan selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebut sudah “tidak berlaku”. Masyarakat pedesaan juga ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yagn amat kuat yang hakekatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimanapun ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama-sama sebgai masyarakat yang saling mencintai saling menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam masyarakat.
Adapun yang menjadi ciri masyarakat desa antara lain :
Didalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya.
Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian
Masyarakat tersebut homogen, Seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adapt istiadat, dan sebagainya
Didalam masyarakat pedesaan kita mengenal berbagai macam gejala, khususnya tentang perbedaan pendapat atau paham yang sebenarnya hal ini merupakan sebab-sebab bahwa di dalam masyarakat pedesaan penuh dengan ketegangan –ketegangan sosial. Gejala-gejala sosial yang sering diistilahkan dengan konflik, kontraversi, kompetisi.
            Petani merupakan seseorang yang terlibat dalam bidang pertanian. Mereka memelihara tumbuhan dan hewan untuk dijadikan makanan atau bahan mentah. Antaranya, kegiatan membiakkan binatang (sapi, ayam, kerba, kambing, domba dan lain-lain) dan menanam tanaman (padi, bunga, buah dan lain-lain). Seorang petani mengusahakan tanah miliknya atau bekerja sebagai buruh di kebun orang lain. Pemilik tanah yang mengusahakan tanahnya dengan mempekerjakan buruh jugadikenalsebagaipetani.
           Kata petani umumnya merujuk kepada orang yang mengelola kebun atau ladang dan menjalankan peternakan hewan (di negara maju). Biasanya hasil pertanian digunakan sendiri atau dijual kepada orang lain atau pihak lain misalnya melalui pemborong sebagai perantara untuk disalurkan ke pasar.
              Petani secara tradisional didefinisikan dalam sosiologi sebagai anggota komunitas dalam masyarakat agraris pedesaan.
Pekerjaan sebagai petani adalah suatu pekerjaan yang sangat penting bagi sebuah negara, karena pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang dapat menghasilkan kebutuhan primer (pangan) manusia di berbagai belahan dunia. Contohnya di Indonesia terdapat petani yang bekerja di sawah untuk menanam padi, dimana padi tersebut merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia yaitu beras. Tetapi sayangnya, pekerjaan sebagai petani saat ini kurang diminati karena kurangnya perhatian pemerintah dan gengsi yang tinggi.
            Di negara-negara berkembang, kebanyakan petani-petani di negara tersebut melakukan agrikultur subsistence yang sederhana yaitu sebuah pertanian organik sederhana dengan cara penanaman bergilir yang sederhana pula atau teknik lainnya untuk memaksimalkan hasil yang didapat dengan menggunakan benih yang diselamatkan yang "asli" dari ecoregion.



2.2.1.      Relasi Petani Dengan Pemerintah
            Mengorganisasikan petani secara formal merupakan pendekatan utama pemerintah untuk pemberdayaan petani. Hampir pada semua program, petani disyaratkan untuk berkelompok, dimana kelompok menjadi alat untuk mendistribusikan bantuan (material atau uang tunai), dan sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi baik antar peserta maupun dengan pelaksana program. Untuk mewujudkan ini, telah dihabiskan anggaran dan dukungan tenaga lapang yang cukup besar. Permasalahannya, kelompok-kelompok tersebut tidak berkembang sesuai harapan. Kapasitas keorganisasian mereka lemah, sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program, bahkan menjadi kendala dalam pelaksanaan program . Banyak studi membuktikan bahwa tidak mudah membangun organisasi petani karena petani cenderung merasa lebih baik tidak berorgansiasi. Penyebab kegagalan ini adalah karena kurang dihargainya inisiatif lokal, pendekatan yang seragam , kurang mengedepankan partisipasi dan dialog , lemahnya kemampuan aparat pemerintah dan karena menggunakan paradigma yang kurang tepat.  Namun demikian, sampai sekarang berbagai kebijakan masih tetap menjadikan organisasi formal sebagai keharusan, misalnya Peraturan Menteri Pertanian No: 273/kpts/ot.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani dan Keputusan Menko Kesra No: 25/Kep/Menko/Kesra/vii/2007 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri).
            Menghadapi hal tersebut, petani yang juga telah berkembang tingkat pendidikannya, serta mengalami perubahan struktur ekonomi dan politik local, telah membentuk suatu karakter sosial, ekonomi, dan politik tersendiri. Mereka mengembangkan keorganisasian bertani yang sesuai dengan kondisi dan pemahaman mereka, misalnya mempertimbangkan kebutuhan spesifik komoditas yang mereka usahakan.
Dengan demikian, bagaimana petani baik sebagai pembudidaya, pengolah, maupun pelaku pemasaran mengorganisasikan dirinya; membutuhkan pemahaman secara sosiologis yang mendalam. Mereka membangun berbagai relasi berpola dengan berbagai pihak. Relasi tersebut dapat berupa relasi horizontal yaitu dengan sesama petani, dan relasi vertikal dengan pemasok sarana produksi, permodalan, dan teknologi serta dengan pelaku pengolahan dan pedagang hasil pertanian. Dalam setiap relasi petani memiliki dua pilihan yaitu relasi yang bersifat individual atau relasi dalam bentuk aksi kolektif.
            Penumbuhan dan pengembangan kelembagaan petani disatu sisi dilakukan secara partisipatoris dan disisi lain kelembagaan petani dijadikan instrumen negara dalam mengendalikan, mengorganisir aktifitas petani. Keterlibatan pemerintah dalam menumbuh-kembangkan kelembagaan petani lebih banyak menguntungkan negara ketimbang pihak petani yang seharusnya menjadi sasaran utama. Asumsi-asumsi yang didoktrinasi oleh negara terhadap pola pikir petani adalah bahwa kelembagaan petani menjadi satu-satunya wadah yang mutlak diperlukan dalam meningkatkan posisi tawar petani dan pada akhirnya meningkatkan kualitas dan taraf hidup mereka. Akan tetapi patut juga mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mewujudkan hal tersebut diatas. Tindakan pemerintah dalam menumbuh-kembangkan kelembagaan petani justru dipenuhi dengan muatan-muatan politik dan bisnis yang ujung-ujungnya petani menjadi korban kerakusan para penguasa dan para elit. Pengelompokan petani pada sebuah wadah atau organisasi formal sesungguhnya bukan semata-mata untuk memperkuat posisi tawar petani terhadap aksesibilitas sumberdaya dan pasar, melainkan untuk mempermudah penguasa dalam mengontrol dan mengendalikan aktifitas petani. Selain itu juga menjadi objek proyek-proyek pemerintah baik pusat maupun daerah berupa distribusi bantuan dana sosial.
            Tindakan pemerintah yang ringan tangan juga nampak pada realitas penyelesaian konflik dan sengketa yang melibatkan petani dengan penguasa dan pengusaha, yang mana petani selalu menjadi pihak yang diabaikan hak-haknya untuk mendapat perlindungan. Boleh jadi pepatah “Maju Tak Gentar Membela yang Bayar” layak disandangkan untuk para penguasa di negeri ini terutama para penegak hukum. Tindakan koersif yang dilakukan aparat penegak hukum beserta para kapitalis  bisa dikatakan sebagai dominasi terhadap pihak-pihak yang tersubordinasi - misalnya petani.
Dalam konteks kelembagaan yang dimiliki petani, tidak luput dari sasaran tindakan hegemonik dan dominasi para elit penguasa dan pengusaha dalam memuluskan dan mempertahankan kepentingan masing-masing. Persengkongkolan pemerintah dengan pengusaha sebenarnya sah-sah saja sepanjang untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat luas tanpa mengabaikan hak-hak dasar dari semua elemen bangsa. Akan tetapi persekongkolan negara dan pengusaha lebih banyak menguntungkan negara dan kapitalis ketimbang kepentingan para petani.
Keberadaan kelembagaan petani memang memiliki peranan yang sangat penting dalam melanjutkan program atau kebijakan pemerintah yang ditelurkan. Misalnya kelompoktani, gabungan kelompoktani dan KUD adalah sarana yang aman dan terjamin karena sebagai ‘bangunan kondifikasi negara’ juga merupakan representasi kahadiran petani. Dengan demikian kelembagaan petani mempunyai peran ganda yang memang menjadi alat dan sarana memasung petani dalam aktifitas produksi maupun pemasaran produk yang dihasilkan petani.
Kelembagaan petani berupa kelompoktani, gabungan kelompoktani maupun kelembagaan lainnya, pada satu sisi menjadi sarana negara dan bisnis untuk menjalankan proyek atau program kerja  dari pemerintah dan pada sisi lain kelembagaan petani justru bukan manjalankan asasnya yang berdasarkan pada asas yang sesungguhnya(dari, oleh dan untuk petani), melalinkan berperan sebagai afirmasi tindakan dominasi dan hegemoni yang secara tidak sadar memperburuk keadaan masyarakat khususnya petani. Inilah kerangka hegemonis dan dominatif negara dan bisnis yang bermain dibalik ide pembangunan yang mengatup kesadaran bebas masyarakat petani sekaligus mengadopsi atau mereduksi penyusunan program – program yang bersifat sentralistik dan top down bagi petani melalui tahap bintek dan bimas serta sosialisasi perencanaan yang sudah menjadi format baku. Melalui jaringan- jaringan kekuasaan negara  yakni pemerintah dari tinngkat atas sampai ke jenjang paling bawah sekaligus dengan mendirikan kelembagaan formal bagi petani sebagai sebuah wahana pengklaiman  hak petani adalah sebuah panorama hegemoni dan dominasi yang diaktualisasikan.
Kelompok tani sebenarnya menjadi sarana untuk membantu dan melayani anggotanya yakni petani, ternyata memainkan peran gandanya untuk mengenyangkan atau berpihak pada pemerintah dan bisnis. Petani tepaksa menerima dan menyetujui peran dan fungsi Kelompoktani karena posisi tawar petani lemah. Kehadiran kelompoktani tidak serta-merta membawa perubahan terhadap posisi tawar petani terhadap pemerintah dan pasar, akan tetapi ironi yang terjadi justru kelompoktani dijadikan sarana pemerintah dan kapitalis untuk memperkuat hegemoni dan dominasinya terhadap petani tanpa petani menyadarinya.
Menurut Gramsci (1971), bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa law enforcemant. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh pranata Negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga keluarga (Heryanto, 1997). Perangkat kerja ini biasanya dilakukan oleh pranata masyarakat sipil (civil society) melailui lembaga-lembaga masyarakat seperti LSM, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban dan kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) termasuk kelompoktani dan kelembagaan petani yang lain.
Jika direfleksikan antara implementasi penumbuhan dan pengembangan kelembagaan petani  dengan teori yang dikemukakan Gramsci tentang Hegemoni Kekasaan, maka kelompoktani termasuk dalam perangkat kerja yang sengaja dibentuk oleh penguasa untuk mengabadikan kekuasaannya melalui tindakan hegemoni. Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus (consenso) dari pada melalui penindasan terhadap kelas sosial lain. Ada berbagai cara yang dipakai, misalnya melalui yang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat itu. Itulah sebabnya hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan (Gramsci, 1976). Dalam konteks tersebut, Gramsci lebih menekankan pada aspek kultural (ideologis). Melalui produk-produknya, hegemoni menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu yang dipandang benar baik secara moral maupun intelektual. Hegemoni kultural tidak hanya terjadi dalam relasi antar negara tetapi dapat juga terjadi dalam hubungan antar berbagai kelas sosial yang ada dalam suatu negara.
Kelembagaan petani dibentuk lebih merupakan strategi negara dalam mempertahankan kekuasaannya dengan mencoba mengakumulasi persetujuan (consensus) dari pihak yang tersubordinasi tanpa mereka menyadarinya. Kelembagaan petani - termasuk kelompoktani dan gabungan kelompok tani – merupakan perangkat yang sengaja disusun oleh penguasa untuk mengendalikan, menjinakan serta melakukan aliansi dengan kekuatan moral dan intelektual yang ada sehingga kekuatan itu kemudian berfungsi sebagai aparat hegemoni politik dan budaya . Selanjutnya kelas penguasa bersama aliansi aparat hegemonik tersebut membentuk suatu tatanan sosial, politik, idiologi dengan menyeragamkan dan mengkontruksi definisi sosial. Hal ini dilakukan melalui penyebaran dan internalisasi nilai-nilai, gagasan-gagasan, asumsi-asumsi kepada seluruh formasi sosial budaya yang ada. Penyebaran dan internalisasi nilai-nilai, gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi bertujuan agar tatanan dan formasi sosial politik yang dibentuk dapat diterima, dianggap sah (legitimate) secara konsensus, sukarela dan tanpa sadar (consent) melewati batas-batas kelas, gender dan faktor sosial lainnya. Hal inilah yang kemudian oleh Gramsci disebut sebagai Hegemoni.
Mekanisme Hegemoni Negara dan Dominasi Kapitalis dalam Penumbuhan dan Pengembangan Kelembagaan Petani dilakukan melalui:
1.      Internalisasi nilai-nilai, Gagasan-gagasan, dan asumsi-asumsi tentang pentingnya lembaga formal bagi petani dalam meningkatkan posisi tawar petani, kesejahteraan dan taraf hidupnya. Penyebaran dan internalisasi nilai-nilai, gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi bertujuan agar tatanan dan formasi sosial politik yang dibentuk dapat diterima, dianggap sah (legitimate) secara konsensus, sukarela dan tanpa sadar (consent) melewati batas-batas kelas, gender dan faktor sosial lainnya. Sehingga nilai-nilai,  definisi situasi, gagasan-gagasan, dan asumsi-asumsi tentang pentingnya lembaga formal bagi petani yang disebarkan oleh pemerintah tersebut dianggap alami (natural) dan masuk akal (common sense)
2.      Legitimasi melalui aturan-aturan normatif yang menggiring petani untuk membentuk kelembagaan sebagaimana yang dikehendaki pemerintah. Untuk melegitimasi apa yang dilakukan negara, maka disusun berbagai peraturan yang sifatnya memayungi dan membenarkan tindakan aparatus negara. Aturan yang sifatnya mengikat, membuat petani tidak memiliki pilihan selain mengikuti apa yang dikehendaki penguasa.
3.      Tindakan koersif melalui aparatus negara dan instrumen lainnya. Misalnya elit desa, tokoh informal, penyuluh pertanian lapang, dll.

2.2.2.      Relasi Petani Dengan Pasar
            Pasar merupakan kekuatan yang cukup kuat mempengaruhi bagaimana petani menjalankan hidupnya. Jika pemerintah menginginkan petani untuk berorganisasi secara formal dari bawah sampai atas, pasar menuntut hal yang berbeda. Sesuai dengan kultur pasar yang penuh kalkulasi ekonomi, petani dituntut berperilaku secara efisien dan menguntungkan.
Lingkungan yang sesuai merupakan prasyarat keberhasilan program pengembangan pasar di tingkat petani. Sayangnya, yang paling sering terjadi adalah hambatan akibat pola budaya yang sudah terbentuk di kalangan masyarakat perdesaan yang sebenarnya juga merupakan hasil yang tidak diharapkan dari implementasi program-program pemerintah sebelumnya.
 Hambatan juga bisa terjadi karena implementasi kebijakan yang tidak tepat. Dalam mengimplementasikan sebuah program untuk membantu petani agar bisa memiliki akses ke pasar, seringkali kita mengabaikan faktor-faktor penentu yang sebenarnya sangat penting. Faktor-faktor tersebut antara lain keberadaan dan peran sektor swasta yang selama ini dianggap sebagai pesaing bahkan pemangsa petani kecil. Karena tidak dilibatkan di dalam program tersebut, maka mereka menciptakan jaringan pemasaran sendiri yang seringkali tidak bisa dimanfaatkan oleh petani pada umumnya terlebih-lebih secara individual, bahkan terkesan eksploitatif.
Langkah awal yang perlu dipersiapkan terutama adalah menetapkan tipe hubungan antara petani dan pasar berikut dukungan eksternal yang diperlukan. Kemitraan dengan swasta perlu dimanfaatkan karena swasta juga perlu meminimalkan biaya transaksi. Kemampuan bisnis fasilitator (lembaga pemerintah atau LSM) perlu dipersiapkan dengan baik agar tidak terjadi kesalahan dalam mengarahkan petani. Beberapa strategi yang perlu dipersiapkan untuk membantu petani agar bisa mengakses pasar antara lain pembentukan kelompok tani, kiat menghadapi pungutan dan subsidi, kesaling-percayaan, negosiasi untuk kontrak dan pembiayaan. Selanjutnya, perlu dipersiapkan “exit strategy” dan pengembangan SDM agar petani bisa melakukan pemasarannya secara mandiri dan replikasi.

2.2.3.      Relasi Petani dengan Komunitas
            Petani adalah mahluk manusia dan manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak dapat lepas dari manusia lain. Petani juga memiliki keluarga, Dahulu sebagian besar petani, anggota keluarganya juga ikut bertani meski bukan pekerjaan utamanya. Antara petani dan keluarganya tersebut memiliki suatu pola hubungan yang saling mendukung. Hubungan yang saling mendukung tersebut yang membuat keluarga petani hidup dengan tentram. Pola hubungan yang saling mendukung seperti ini dari tahun ke tahun sudah mulai berkurang kadarnya. Dapat dilihat saat ini petani mudah drop/menyerah/strees menghadapi kesulitan hidup. Keluarga yang seharusnya mendukung lebih fokus kepada pekerjaan mereka “mulai ada sikap antipati”. Hal tersebut terjadi biasanya karena 2 faktor  yaitu tidak terjadi atau tidak adanya kontak sosial dan interaksi sosial.   
Di desa – desa para petani menjunjung tinggi rasa persaudaraan. Itu terbukti dengan semangat gotong royong yang kuat, pembuatan rumah yang tidak perlu menyewa tukang bangunan, penanaman padi yang dilakukan secara beramai – ramai, panen yang juga dilakukan secara beramai – ramai, bila ada hajatan “terdengar suara sound yang keras” mereka langsung berbondong – bondong mengungkapkan rasa simpati mereka. Hubungan antara petani satu dan yang lain sangat harmonis. Masalah memang ada dalam masyarakat pertanian, sebagai contoh saat petani kesulitan air dimusim kemarau mereka berebut mendapatkan jatah air, pertikaian antar kampung lantaran rasa solidaritas tinggi tanpa dibarengi logika, dll.
Interaksi lain yang membuat pola hubungan sosial adalah antara petani dengan pedagang. Petani memperoleh benih, bibit, pembasmi hama, dan alat pertanian dari pedagang. Pedagang memperoleh untung dari transaksi dengan petani. Antara petani dengan pedagang memiliki pola hubungan yang saling bergantung karena petani tidak memiliki waktu dan transportasi yang memadahi untuk membeli ke kota, pedagangpun tidak dapat menjual barangnya bila petani membeli sendiri kebutuhannya.
Petani juga biasa menjual hasil panennya kepada pedagang atau biasa disebut tengkulak. Hubungan antara petani dan tengkulak sudah wajar dan normal dilakukan di desa – desa. Petani tidak ingin repot – repot menjemur dan menggiling padi. Mereka lebih suka langsung menujualnya dan uangnya mereka belikan beras di pasar.
 Pola hubungan tersebut menciptakan suatu pekerjaan baru yaitu buruh jemur yang banyak terdapat di penggilingan padi. Hubungan antara tengkulak denga petani sebenarnya tidak terlalu kejam seperti yang ada di media massa. Petani membutuhkan tengkulak demikian pula tengkulak membutuhkan petani.
Petani memiliki hubungan yang sangat luas dengan masyarakat sekitarnya.  Hubungan tersebut terjadi karena petani sebagai pekerja, sebagai manajer, dan juga sebagai warga masyarakat. Petani berhubungan dengan sesama petani, dengan pedagang, dengan masyarakat sekitar, dengan kelompok tani, dan lain-lain.








III.                 PENUTUP

 Kesimpulan
            Dari pembahasan diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa Masyarakat Desa yang atau juga bisa disebut sebagai masyarakat tradisonal manakala dilihat dari aspek kulturnya. Masyarakat pedesaan itu lebih bisa bersosialisasi dengan orang orang di sekitarnya. Masyarakat Desa adalah kebersamaan. sedangkan Pola interaksi masyarakat kota adalah individual,. Sebagai contoh kalau anda pergi ke suatu Desa, dan anda bertanya dengan seseorang siapa nama tetangganya, pasti dia hafal. Kalau di kota, kurang dapat bersosialisasi karena masing masing sudah sibuk dengan kepentingannya sendiri2.Pola interaksi masyarakat pedesaan adalah dengan prinsip kerukunan, sedang masyarakat perkotaan lebih ke motif ekonomi, politik, pendidikan, dan kadang hierarki. Pola solidaritas sosial masyarakat pedesaan timbul karena adanya kesamaan-kesamaan kemasyarakatan, sedangkan masyarakat kota terbentuk karena adanya perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat.
            Pemberdayaan petani dengan pendekatan pengorganisasian secara formal merupakan hal yang umum tidak hanya di Indonesia, namun kurang berhasil. Negara menginginkan petani diorganisasikan secara formal, sementara pasar cenderung menekan petani (secara individu dan kelompok) untuk berperilaku efisien dan menguntungkan. Sesuai dengan tekanan kultur pasar, petani tidak harus berperilaku secara kolektif dalam kelompok-kelompok formal.Hal tersebut tentunya dapat mempengaruhi perkembangan pertanian, oleh karena itu diharapkan pihak-pihak yang berperan secara struktural-fungsional dapat meningkatkan kinerja dan potensi pertanian tanpa adanya kerugian yang dirasakan petani.
            Perlu ditekankan bahwa relasi-relasi berbasis pemerintah, pasar, dan juga komunitas pada hakekatnya adalah sebuah organisasi dalam arti luas. Di dalamnya juga dijumpai pelaku-pelaku yang dapat dibatasi secara sosial, relasi-relasi dan struktur relasi yang terpola, norma yang dipegang dan dijaga bersama (meskipun tidak tertulis), serta transaski yang murah dan efektif. Namun, bentuk pengorganisasian berbasis pasar tidak selalu lebih baik. Bagaimana bentuk pengorganisasian yang sesuai bergantung pada kompleks norma, aturan, serta kultural kognitifnya yaitu bagaimana petani memahami kondisi yang dihadapinya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar