TUGAS SOSIOLOGI PERTANIAN
INTERAKSI SOSIAL PADA MASYASRAKAT
PEDESAAN
DISUSUN OLEH:
NAMA : ICHSAN MUSTAQIM
NIM : 140304049
PROGRAM STUDI : AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TAHUN
2015
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sosiologi
pertanian adalah suatu pengetahuan sistematis dari suatu hasil penerapan metode ilmu dalam mempelajari
masyarakat pedesaan, struktur sosial dan organisasi sosial, dan juga sistem
perubahan dasar masyarakat dan proses
perubahan sosial yang terjadi. Tapi dalam pengertian ini tidak hanya cukup mempelajari
saja, tetapi kita harus
benar-benar paham tentang penyebab terjadinya dan dampak atau akibat dari
segala tindakan sosial yang terdapat pada desa tersebut (Nasution, 1983).
Sosiologi pertanian
cenderung mengarah pada kehidupan keluarga petani yang mencakup dalam hubungannya
dengan kegiatan pertanian dikehidupan bermasyarakat, misalnya tentang pola-pola
pertanian, kesejahteraan masyarakat, kebiasaan atau adat istiadat, grup sosial,
organisasi sosial, pola komunikasi dan tingkat pendidikan masyarakat.Dalam
sosiologi pertanian pula pastinya terjadi relasi struktural-fungsional dan
simbolis antara petani dengan pemerintah dan pasar dalam tatanan lokal yang membentuk sebuah struktur sosial.
Relasi-relasi inilah yang menjadi tonggak bagaimana petani, pemerintah, pasar, dan
aspek lainnya saling menunjang untuk pembangunan bidang pertanian ke arah yang
lebih baik.Selain itu, terbangunnya relasi petani tersebut disebabkan oleh
banyak faktor salah-satunya ialah problem mendasar bagi mayoritas petani
Indonesia yaitu ketidakberdayaan dalam
melakukan negosiasi harga hasil produksinya. Posisi tawar petani pada saat
ini umumnya lemah, hal ini merupakan
salah satu kendala dalam usaha
meningkatkan pendapatan petani.
Menurut Branson dan Douglas (1983), lemahnya posisi tawar petani umumnya
disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi pasar dan permodalan yang kurang
memadai.
Petani kesulitan menjual hasil
panennya karena tidak punya jalur pemasaran
sendiri, akibatnya petani menggunakan sistim tebang jual. Dengan sistim
ini sebanyak 40 % dari hasil penjualan
panenan menjadi milik tengkulak. Peningkatan produktivitas pertanian tidak lagi
menjadi jaminan akan memberikan keuntungan layak bagi petani tanpa
adanya kesetaraan pendapatan antara
petani yang bergerak di sub sistem on farm dengan pelaku agribisnis di
sub sektor hulu dan hilir. Kesetaraan pendapatan hanya dapat dicapai dengan
peningkatan posisi tawar petani. Hal ini dapat dilakukan jika petani tidak
berjalan sendiri-sendiri, tetapi menghimpun kekuatan dalam suatu lembaga yang
betul-betul mampu menyalurkan aspirasi mereka. Oleh karena itu penyuluhan
pertanian harus lebih tertuju pada upaya membangun kelembagaan. Lembaga ini
hanya dapat berperan optimal apabila penumbuhan dan pengembangannya dikendalikan
sepenuhnya oleh petani sehingga petani harus menjadi subjek dalam proses
tersebut.Peningkatan posisi tawar petani dapat meningkatkan akses
masyarakat pedesaan dalam kegiatan
ekonomi yang adil, sehingga bentuk kesenjangan dan kerugian yang dialami oleh
para petani dapat dihindarkan.
1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan
tugas ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Sosiologi
Pertanian serta untuk menambah wawasan dan ilmu tentang pengaruh interaksi
sosial dalam masyarakat.
II.
PEMBAHASAN
2.1. Pegertian Interaksi Sosial
Interaksi Sosial adalah suatu proses hubungan timbal balik yang dilakukan oleh
individu dengan individu, antara indivu dengan kelompok, antara kelompok dengan
individu,antara kelompok dengan dengan kelompok dalam kehidupan sosial. Dalam
kamus Bahasa Indonesia Innteraksi didifinisikan sebagai hal saling melalkukan
akasi ,berhubungan atau saling mempengaruhi. Dengan demikian interaksi adalah
hubungan timbale balik (sosial) berupa aksi salaing mempengaruhi antara
indeividu dengan individu, antara individu dankelompok dan antara kelompok
dengan dengan kelompok. Gillin mengartikan bahwa interaksi sosial sebagai
hubungan-hubungan sosial dimana yang menyangkut hubungan antarandividu ,
individu dan kelompok antau antar kelompok. Menurut Charles P. loomis sebuah
hubungan bisa disebut interaksi jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.
jumlah
pelakunya dua orang atau lebih
b.
adanya
komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbul atau lambang-lambang
c.
adanya
suatu demensi waktu yang meliputi ,asa lalu, masa kini, dan masa yang akan
dating .
d.
adanya
tujuan yang hendak dicapai.
Syarat Terjadinya Interaksi Sosial
1. adanya kontak sosial
Kata kontak dalam bahasa inggrisnya “contack”, dari bahasa lain
“con” atau “cum” yang artinya bersama-sama dan “tangere” yang artinya menyentuh
. Jadi kontak berarti sama-sama menyentuh.Kontak sosial ini tidak selalu
melalui interaksi atau hubungan fisik, karena orang dapat melakuan kontak sosial
tidak dengan menyentuh,misalnya menggunakan HP, telepon dsb
2. Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dari satu
pihak kepihak yang lain dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Ada lima unsure pokok dalam komunikasi yaitu
komunikator yaitu orang yang menyampaikan informasi atau pesan atau
perasaan atau pemikiran pada pihak lain.
Komunikan yaitu orang atau sekelompok orang yang dikirimi pesan,
pikiran, informasi.
Pesan yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator kepada
komunikan.
Media yaitu alat untuk menyampaiakn pesan
Efek/feed back yaitu tanggapan atau perubahan yang diharapkan
terjadi pada komunikan setelah mendapat pesan dari komunikator.
2.2. kondisi Umum Interaksi Pada
Masyarakat Pedesaan
Yang dimaksud
dengan desa menurut Sukardjo Kartohadi adalah suatu kesatuan hukum dimana
bertempat tinggal suatu masyarakat pemeritnahan sendiri. Menurut Bintaro desa
merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan
cultural yang terdapat disuatu daerah dalam hubungannya danpengaruhnya secara
timbal-balik dengan daerah lain.
Menurut Paul H.Landis, desa adalah penduduknya kurang dari 2.500
jiwa dengan ciri-ciri sebagai berikut :
Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan
jiwa.
Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuaan terhadap
kebiasaan.
Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat
dipengaruhi alam sekitar seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam,
sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin
yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat
yang amat kuat yang hakekatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimanapun ia hidup dicintainya serta
mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya
atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama-sama sebagai
masyarakat yang saling mencintai saling menghormati, mempunyai hak tanggung
jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam
masyarakat.
Masyarakat tersebut homogen, deperti dalam hal mata pencaharian,
agama, adat istiadat, dan sebagainya.
Masyarakat
pedesaan selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, yang
biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi
tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan
masyarakat desa di Jawa. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial
religius dan perkembangan era informasi dan teknologi, terkadang sebagian
karakteristik tersebut sudah “tidak berlaku”. Masyarakat pedesaan juga ditandai
dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu
perasaan setiap warga/anggota masyarakat yagn amat kuat yang hakekatnya, bahwa
seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
dimanapun ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk
berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat,
karena beranggapan sama-sama sebgai masyarakat yang saling mencintai saling
menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan
kebahagiaan bersama di dalam masyarakat.
Adapun yang menjadi ciri masyarakat desa antara lain :
Didalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan
yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan
lainnya di luar batas wilayahnya.
Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian
Masyarakat tersebut homogen, Seperti dalam hal mata pencaharian,
agama, adapt istiadat, dan sebagainya
Didalam masyarakat pedesaan kita mengenal berbagai macam gejala,
khususnya tentang perbedaan pendapat atau paham yang sebenarnya hal ini
merupakan sebab-sebab bahwa di dalam masyarakat pedesaan penuh dengan
ketegangan –ketegangan sosial. Gejala-gejala sosial yang sering diistilahkan
dengan konflik, kontraversi, kompetisi.
Petani
merupakan seseorang yang terlibat dalam bidang pertanian. Mereka memelihara
tumbuhan dan hewan untuk dijadikan makanan atau bahan mentah. Antaranya,
kegiatan membiakkan binatang (sapi, ayam, kerba, kambing, domba dan lain-lain)
dan menanam tanaman (padi, bunga, buah dan lain-lain). Seorang petani
mengusahakan tanah miliknya atau bekerja sebagai buruh di kebun orang lain.
Pemilik tanah yang mengusahakan tanahnya dengan mempekerjakan buruh
jugadikenalsebagaipetani.
Kata petani umumnya merujuk kepada orang yang mengelola kebun atau ladang dan menjalankan peternakan hewan (di negara maju). Biasanya hasil pertanian digunakan sendiri atau dijual kepada orang lain atau pihak lain misalnya melalui pemborong sebagai perantara untuk disalurkan ke pasar.
Petani secara tradisional didefinisikan dalam sosiologi sebagai anggota komunitas dalam masyarakat agraris pedesaan.
Pekerjaan sebagai petani adalah suatu pekerjaan yang sangat penting bagi sebuah negara, karena pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang dapat menghasilkan kebutuhan primer (pangan) manusia di berbagai belahan dunia. Contohnya di Indonesia terdapat petani yang bekerja di sawah untuk menanam padi, dimana padi tersebut merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia yaitu beras. Tetapi sayangnya, pekerjaan sebagai petani saat ini kurang diminati karena kurangnya perhatian pemerintah dan gengsi yang tinggi.
Di negara-negara berkembang, kebanyakan petani-petani di negara tersebut melakukan agrikultur subsistence yang sederhana yaitu sebuah pertanian organik sederhana dengan cara penanaman bergilir yang sederhana pula atau teknik lainnya untuk memaksimalkan hasil yang didapat dengan menggunakan benih yang diselamatkan yang "asli" dari ecoregion.
Kata petani umumnya merujuk kepada orang yang mengelola kebun atau ladang dan menjalankan peternakan hewan (di negara maju). Biasanya hasil pertanian digunakan sendiri atau dijual kepada orang lain atau pihak lain misalnya melalui pemborong sebagai perantara untuk disalurkan ke pasar.
Petani secara tradisional didefinisikan dalam sosiologi sebagai anggota komunitas dalam masyarakat agraris pedesaan.
Pekerjaan sebagai petani adalah suatu pekerjaan yang sangat penting bagi sebuah negara, karena pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang dapat menghasilkan kebutuhan primer (pangan) manusia di berbagai belahan dunia. Contohnya di Indonesia terdapat petani yang bekerja di sawah untuk menanam padi, dimana padi tersebut merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia yaitu beras. Tetapi sayangnya, pekerjaan sebagai petani saat ini kurang diminati karena kurangnya perhatian pemerintah dan gengsi yang tinggi.
Di negara-negara berkembang, kebanyakan petani-petani di negara tersebut melakukan agrikultur subsistence yang sederhana yaitu sebuah pertanian organik sederhana dengan cara penanaman bergilir yang sederhana pula atau teknik lainnya untuk memaksimalkan hasil yang didapat dengan menggunakan benih yang diselamatkan yang "asli" dari ecoregion.
2.2.1.
Relasi Petani Dengan Pemerintah
Mengorganisasikan
petani secara formal merupakan pendekatan utama pemerintah untuk pemberdayaan
petani. Hampir pada semua program, petani disyaratkan untuk berkelompok, dimana
kelompok menjadi alat untuk mendistribusikan bantuan (material atau uang
tunai), dan sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi baik antar peserta
maupun dengan pelaksana program. Untuk mewujudkan ini, telah dihabiskan
anggaran dan dukungan tenaga lapang yang cukup besar. Permasalahannya,
kelompok-kelompok tersebut tidak berkembang sesuai harapan. Kapasitas
keorganisasian mereka lemah, sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program,
bahkan menjadi kendala dalam pelaksanaan program . Banyak studi membuktikan
bahwa tidak mudah membangun organisasi petani karena petani cenderung merasa
lebih baik tidak berorgansiasi. Penyebab kegagalan ini adalah karena
kurang dihargainya inisiatif lokal, pendekatan yang seragam , kurang
mengedepankan partisipasi dan dialog , lemahnya kemampuan aparat pemerintah dan
karena menggunakan paradigma yang kurang tepat. Namun demikian, sampai
sekarang berbagai kebijakan masih tetap menjadikan organisasi formal sebagai
keharusan, misalnya Peraturan Menteri Pertanian No: 273/kpts/ot.160/4/2007
tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani dan Keputusan Menko Kesra No:
25/Kep/Menko/Kesra/vii/2007 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri).
Menghadapi hal
tersebut, petani yang juga telah berkembang tingkat pendidikannya, serta
mengalami perubahan struktur ekonomi dan politik local, telah membentuk suatu karakter
sosial, ekonomi, dan politik tersendiri. Mereka mengembangkan keorganisasian
bertani yang sesuai dengan kondisi dan pemahaman mereka, misalnya
mempertimbangkan kebutuhan spesifik komoditas yang mereka usahakan.
Dengan demikian, bagaimana petani baik sebagai pembudidaya,
pengolah, maupun pelaku pemasaran mengorganisasikan dirinya; membutuhkan
pemahaman secara sosiologis yang mendalam. Mereka membangun berbagai relasi
berpola dengan berbagai pihak. Relasi tersebut dapat berupa relasi horizontal
yaitu dengan sesama petani, dan relasi vertikal dengan pemasok sarana produksi,
permodalan, dan teknologi serta dengan pelaku pengolahan dan pedagang hasil
pertanian. Dalam setiap relasi petani memiliki dua pilihan yaitu relasi yang
bersifat individual atau relasi dalam bentuk aksi kolektif.
Penumbuhan dan
pengembangan kelembagaan petani disatu sisi dilakukan secara partisipatoris dan
disisi lain kelembagaan petani dijadikan instrumen negara dalam mengendalikan,
mengorganisir aktifitas petani. Keterlibatan pemerintah dalam
menumbuh-kembangkan kelembagaan petani lebih banyak menguntungkan negara
ketimbang pihak petani yang seharusnya menjadi sasaran utama. Asumsi-asumsi
yang didoktrinasi oleh negara terhadap pola pikir petani adalah bahwa
kelembagaan petani menjadi satu-satunya wadah yang mutlak diperlukan dalam
meningkatkan posisi tawar petani dan pada akhirnya meningkatkan kualitas dan
taraf hidup mereka. Akan tetapi patut juga mempertanyakan keseriusan pemerintah
dalam mewujudkan hal tersebut diatas. Tindakan pemerintah dalam
menumbuh-kembangkan kelembagaan petani justru dipenuhi dengan muatan-muatan
politik dan bisnis yang ujung-ujungnya petani menjadi korban kerakusan para
penguasa dan para elit. Pengelompokan petani pada sebuah wadah atau organisasi
formal sesungguhnya bukan semata-mata untuk memperkuat posisi tawar petani
terhadap aksesibilitas sumberdaya dan pasar, melainkan untuk mempermudah
penguasa dalam mengontrol dan mengendalikan aktifitas petani. Selain itu juga
menjadi objek proyek-proyek pemerintah baik pusat maupun daerah berupa
distribusi bantuan dana sosial.
Tindakan
pemerintah yang ringan tangan juga nampak pada realitas penyelesaian konflik
dan sengketa yang melibatkan petani dengan penguasa dan pengusaha, yang mana
petani selalu menjadi pihak yang diabaikan hak-haknya untuk mendapat
perlindungan. Boleh jadi pepatah “Maju Tak Gentar Membela yang Bayar” layak
disandangkan untuk para penguasa di negeri ini terutama para penegak hukum.
Tindakan koersif yang dilakukan aparat penegak hukum beserta para
kapitalis bisa dikatakan sebagai dominasi terhadap pihak-pihak yang
tersubordinasi - misalnya petani.
Dalam konteks kelembagaan yang dimiliki petani, tidak luput dari
sasaran tindakan hegemonik dan dominasi para elit penguasa dan pengusaha dalam
memuluskan dan mempertahankan kepentingan masing-masing. Persengkongkolan
pemerintah dengan pengusaha sebenarnya sah-sah saja sepanjang untuk kepentingan
kemaslahatan masyarakat luas tanpa mengabaikan hak-hak dasar dari semua elemen
bangsa. Akan tetapi persekongkolan negara dan pengusaha lebih banyak
menguntungkan negara dan kapitalis ketimbang kepentingan para petani.
Keberadaan kelembagaan petani memang memiliki peranan yang sangat
penting dalam melanjutkan program atau kebijakan pemerintah yang ditelurkan.
Misalnya kelompoktani, gabungan kelompoktani dan KUD adalah sarana yang aman
dan terjamin karena sebagai ‘bangunan kondifikasi negara’ juga merupakan
representasi kahadiran petani. Dengan demikian kelembagaan petani mempunyai
peran ganda yang memang menjadi alat dan sarana memasung petani dalam aktifitas
produksi maupun pemasaran produk yang dihasilkan petani.
Kelembagaan petani berupa kelompoktani, gabungan kelompoktani
maupun kelembagaan lainnya, pada satu sisi menjadi sarana negara dan bisnis
untuk menjalankan proyek atau program kerja dari pemerintah dan pada sisi
lain kelembagaan petani justru bukan manjalankan asasnya yang berdasarkan pada
asas yang sesungguhnya(dari, oleh dan untuk petani), melalinkan berperan
sebagai afirmasi tindakan dominasi dan hegemoni yang secara tidak sadar
memperburuk keadaan masyarakat khususnya petani. Inilah kerangka hegemonis dan
dominatif negara dan bisnis yang bermain dibalik ide pembangunan yang mengatup
kesadaran bebas masyarakat petani sekaligus mengadopsi atau mereduksi penyusunan
program – program yang bersifat sentralistik dan top down bagi petani melalui
tahap bintek dan bimas serta sosialisasi perencanaan yang sudah menjadi format
baku. Melalui jaringan- jaringan kekuasaan negara yakni pemerintah dari
tinngkat atas sampai ke jenjang paling bawah sekaligus dengan mendirikan
kelembagaan formal bagi petani sebagai sebuah wahana pengklaiman hak
petani adalah sebuah panorama hegemoni dan dominasi yang diaktualisasikan.
Kelompok tani sebenarnya menjadi sarana untuk membantu dan melayani
anggotanya yakni petani, ternyata memainkan peran gandanya untuk mengenyangkan
atau berpihak pada pemerintah dan bisnis. Petani tepaksa menerima dan
menyetujui peran dan fungsi Kelompoktani karena posisi tawar petani lemah.
Kehadiran kelompoktani tidak serta-merta membawa perubahan terhadap posisi
tawar petani terhadap pemerintah dan pasar, akan tetapi ironi yang terjadi
justru kelompoktani dijadikan sarana pemerintah dan kapitalis untuk memperkuat
hegemoni dan dominasinya terhadap petani tanpa petani menyadarinya.
Menurut Gramsci (1971), bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan
langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama, adalah
perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa
atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang
bernuansa law enforcemant. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya
dilakukan oleh pranata Negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum,
militer, polisi dan bahkan penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang
mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang
berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga
keluarga (Heryanto, 1997). Perangkat kerja ini biasanya dilakukan oleh pranata
masyarakat sipil (civil society) melailui lembaga-lembaga masyarakat seperti
LSM, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban dan kelompok-kelompok
kepentingan (interest groups) termasuk kelompoktani dan kelembagaan petani yang
lain.
Jika direfleksikan antara implementasi penumbuhan dan pengembangan
kelembagaan petani dengan teori yang dikemukakan Gramsci tentang Hegemoni
Kekasaan, maka kelompoktani termasuk dalam perangkat kerja yang sengaja
dibentuk oleh penguasa untuk mengabadikan kekuasaannya melalui tindakan
hegemoni. Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui
mekanisme konsensus (consenso) dari pada melalui penindasan terhadap kelas
sosial lain. Ada berbagai cara yang dipakai, misalnya melalui yang ada di masyarakat
yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif
dari masyarakat itu. Itulah sebabnya hegemoni pada hakekatnya adalah upaya
untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam
kerangka yang ditentukan (Gramsci, 1976). Dalam konteks tersebut, Gramsci lebih
menekankan pada aspek kultural (ideologis). Melalui produk-produknya, hegemoni
menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu yang dipandang benar baik secara
moral maupun intelektual. Hegemoni kultural tidak hanya terjadi dalam relasi
antar negara tetapi dapat juga terjadi dalam hubungan antar berbagai kelas
sosial yang ada dalam suatu negara.
Kelembagaan petani dibentuk lebih merupakan strategi negara dalam
mempertahankan kekuasaannya dengan mencoba mengakumulasi persetujuan
(consensus) dari pihak yang tersubordinasi tanpa mereka menyadarinya.
Kelembagaan petani - termasuk kelompoktani dan gabungan kelompok tani –
merupakan perangkat yang sengaja disusun oleh penguasa untuk mengendalikan,
menjinakan serta melakukan aliansi dengan kekuatan moral dan intelektual yang
ada sehingga kekuatan itu kemudian berfungsi sebagai aparat hegemoni politik
dan budaya . Selanjutnya kelas penguasa bersama aliansi aparat hegemonik
tersebut membentuk suatu tatanan sosial, politik, idiologi dengan menyeragamkan
dan mengkontruksi definisi sosial. Hal ini dilakukan melalui penyebaran dan
internalisasi nilai-nilai, gagasan-gagasan, asumsi-asumsi kepada seluruh
formasi sosial budaya yang ada. Penyebaran dan internalisasi nilai-nilai,
gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi bertujuan agar tatanan dan formasi sosial
politik yang dibentuk dapat diterima, dianggap sah (legitimate) secara
konsensus, sukarela dan tanpa sadar (consent) melewati batas-batas kelas,
gender dan faktor sosial lainnya. Hal inilah yang kemudian oleh Gramsci disebut
sebagai Hegemoni.
Mekanisme Hegemoni Negara dan Dominasi Kapitalis dalam Penumbuhan
dan Pengembangan Kelembagaan Petani dilakukan melalui:
1. Internalisasi nilai-nilai,
Gagasan-gagasan, dan asumsi-asumsi tentang pentingnya lembaga formal bagi
petani dalam meningkatkan posisi tawar petani, kesejahteraan dan taraf
hidupnya. Penyebaran dan internalisasi nilai-nilai, gagasan-gagasan dan
asumsi-asumsi bertujuan agar tatanan dan formasi sosial politik yang dibentuk
dapat diterima, dianggap sah (legitimate) secara konsensus, sukarela dan tanpa
sadar (consent) melewati batas-batas kelas, gender dan faktor sosial lainnya.
Sehingga nilai-nilai, definisi situasi, gagasan-gagasan, dan
asumsi-asumsi tentang pentingnya lembaga formal bagi petani yang disebarkan
oleh pemerintah tersebut dianggap alami (natural) dan masuk akal (common sense)
2. Legitimasi melalui
aturan-aturan normatif yang menggiring petani untuk membentuk kelembagaan
sebagaimana yang dikehendaki pemerintah. Untuk melegitimasi apa yang dilakukan
negara, maka disusun berbagai peraturan yang sifatnya memayungi dan membenarkan
tindakan aparatus negara. Aturan yang sifatnya mengikat, membuat petani tidak
memiliki pilihan selain mengikuti apa yang dikehendaki penguasa.
3. Tindakan koersif melalui
aparatus negara dan instrumen lainnya. Misalnya elit desa, tokoh informal,
penyuluh pertanian lapang, dll.
2.2.2.
Relasi Petani Dengan Pasar
Pasar merupakan
kekuatan yang cukup kuat mempengaruhi bagaimana petani menjalankan hidupnya.
Jika pemerintah menginginkan petani untuk berorganisasi secara formal dari
bawah sampai atas, pasar menuntut hal yang berbeda. Sesuai dengan kultur pasar
yang penuh kalkulasi ekonomi, petani dituntut berperilaku secara efisien dan menguntungkan.
Lingkungan yang sesuai merupakan prasyarat keberhasilan program
pengembangan pasar di tingkat petani. Sayangnya, yang paling sering terjadi
adalah hambatan akibat pola budaya yang sudah terbentuk di kalangan masyarakat
perdesaan yang sebenarnya juga merupakan hasil yang tidak diharapkan dari
implementasi program-program pemerintah sebelumnya.
Hambatan juga bisa terjadi karena implementasi kebijakan yang
tidak tepat. Dalam mengimplementasikan sebuah program untuk membantu petani
agar bisa memiliki akses ke pasar, seringkali kita mengabaikan faktor-faktor
penentu yang sebenarnya sangat penting. Faktor-faktor tersebut antara lain
keberadaan dan peran sektor swasta yang selama ini dianggap sebagai pesaing
bahkan pemangsa petani kecil. Karena tidak dilibatkan di dalam program
tersebut, maka mereka menciptakan jaringan pemasaran sendiri yang seringkali
tidak bisa dimanfaatkan oleh petani pada umumnya terlebih-lebih secara
individual, bahkan terkesan eksploitatif.
Langkah awal yang perlu dipersiapkan terutama adalah menetapkan
tipe hubungan antara petani dan pasar berikut dukungan eksternal yang
diperlukan. Kemitraan dengan swasta perlu dimanfaatkan karena swasta juga perlu
meminimalkan biaya transaksi. Kemampuan bisnis fasilitator (lembaga pemerintah
atau LSM) perlu dipersiapkan dengan baik agar tidak terjadi kesalahan dalam
mengarahkan petani. Beberapa strategi yang perlu dipersiapkan untuk membantu
petani agar bisa mengakses pasar antara lain pembentukan kelompok tani, kiat
menghadapi pungutan dan subsidi, kesaling-percayaan, negosiasi untuk kontrak
dan pembiayaan. Selanjutnya, perlu dipersiapkan “exit strategy” dan
pengembangan SDM agar petani bisa melakukan pemasarannya secara mandiri dan
replikasi.
2.2.3.
Relasi Petani dengan Komunitas
Petani adalah mahluk
manusia dan manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak dapat
lepas dari manusia lain. Petani juga memiliki keluarga, Dahulu sebagian besar
petani, anggota keluarganya juga ikut bertani meski bukan pekerjaan utamanya.
Antara petani dan keluarganya tersebut memiliki suatu pola hubungan yang saling
mendukung. Hubungan yang saling mendukung tersebut yang membuat keluarga petani
hidup dengan tentram. Pola hubungan yang saling mendukung seperti ini dari
tahun ke tahun sudah mulai berkurang kadarnya. Dapat dilihat saat ini petani
mudah drop/menyerah/strees menghadapi kesulitan hidup. Keluarga yang seharusnya
mendukung lebih fokus kepada pekerjaan mereka “mulai ada sikap antipati”. Hal
tersebut terjadi biasanya karena 2 faktor yaitu tidak terjadi atau tidak
adanya kontak sosial dan interaksi sosial.
Di desa – desa para petani menjunjung tinggi rasa persaudaraan. Itu
terbukti dengan semangat gotong royong yang kuat, pembuatan rumah yang tidak
perlu menyewa tukang bangunan, penanaman padi yang dilakukan secara beramai –
ramai, panen yang juga dilakukan secara beramai – ramai, bila ada hajatan
“terdengar suara sound yang keras” mereka langsung berbondong – bondong
mengungkapkan rasa simpati mereka. Hubungan antara petani satu dan yang lain
sangat harmonis. Masalah memang ada dalam masyarakat pertanian, sebagai contoh
saat petani kesulitan air dimusim kemarau mereka berebut mendapatkan jatah air,
pertikaian antar kampung lantaran rasa solidaritas tinggi tanpa dibarengi
logika, dll.
Interaksi lain yang membuat pola hubungan sosial adalah antara
petani dengan pedagang. Petani memperoleh benih, bibit, pembasmi hama, dan alat
pertanian dari pedagang. Pedagang memperoleh untung dari transaksi dengan
petani. Antara petani dengan pedagang memiliki pola hubungan yang saling
bergantung karena petani tidak memiliki waktu dan transportasi yang memadahi
untuk membeli ke kota, pedagangpun tidak dapat menjual barangnya bila petani
membeli sendiri kebutuhannya.
Petani juga biasa menjual hasil panennya kepada pedagang atau biasa
disebut tengkulak. Hubungan antara petani dan tengkulak sudah wajar dan normal
dilakukan di desa – desa. Petani tidak ingin repot – repot menjemur dan
menggiling padi. Mereka lebih suka langsung menujualnya dan uangnya mereka
belikan beras di pasar.
Pola hubungan tersebut menciptakan suatu pekerjaan baru yaitu
buruh jemur yang banyak terdapat di penggilingan padi. Hubungan antara
tengkulak denga petani sebenarnya tidak terlalu kejam seperti yang ada di media
massa. Petani membutuhkan tengkulak demikian pula tengkulak membutuhkan petani.
Petani memiliki hubungan yang sangat luas dengan masyarakat
sekitarnya. Hubungan tersebut terjadi karena petani sebagai pekerja,
sebagai manajer, dan juga sebagai warga masyarakat. Petani berhubungan dengan
sesama petani, dengan pedagang, dengan masyarakat sekitar, dengan kelompok
tani, dan lain-lain.
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa Masyarakat Desa yang atau juga bisa
disebut sebagai masyarakat tradisonal manakala dilihat dari aspek kulturnya.
Masyarakat pedesaan itu lebih bisa bersosialisasi dengan orang orang di
sekitarnya. Masyarakat Desa adalah kebersamaan. sedangkan Pola interaksi
masyarakat kota adalah individual,. Sebagai contoh kalau anda pergi ke suatu
Desa, dan anda bertanya dengan seseorang siapa nama tetangganya, pasti dia
hafal. Kalau di kota, kurang dapat bersosialisasi karena masing masing sudah
sibuk dengan kepentingannya sendiri2.Pola interaksi masyarakat pedesaan adalah
dengan prinsip kerukunan, sedang masyarakat perkotaan lebih ke motif ekonomi,
politik, pendidikan, dan kadang hierarki. Pola solidaritas sosial masyarakat
pedesaan timbul karena adanya kesamaan-kesamaan kemasyarakatan, sedangkan
masyarakat kota terbentuk karena adanya perbedaan-perbedaan yang ada dalam
masyarakat.
Pemberdayaan
petani dengan pendekatan pengorganisasian secara formal merupakan hal yang umum
tidak hanya di Indonesia, namun kurang berhasil. Negara menginginkan petani
diorganisasikan secara formal, sementara pasar cenderung menekan petani (secara
individu dan kelompok) untuk berperilaku efisien dan menguntungkan. Sesuai
dengan tekanan kultur pasar, petani tidak harus berperilaku secara kolektif
dalam kelompok-kelompok formal.Hal tersebut tentunya dapat mempengaruhi
perkembangan pertanian, oleh karena itu diharapkan pihak-pihak yang berperan
secara struktural-fungsional dapat meningkatkan kinerja dan potensi pertanian
tanpa adanya kerugian yang dirasakan petani.
Perlu ditekankan
bahwa relasi-relasi berbasis pemerintah, pasar, dan juga komunitas pada
hakekatnya adalah sebuah organisasi dalam arti luas. Di dalamnya juga dijumpai
pelaku-pelaku yang dapat dibatasi secara sosial, relasi-relasi dan struktur
relasi yang terpola, norma yang dipegang dan dijaga bersama (meskipun tidak
tertulis), serta transaski yang murah dan efektif. Namun, bentuk
pengorganisasian berbasis pasar tidak selalu lebih baik. Bagaimana bentuk
pengorganisasian yang sesuai bergantung pada kompleks norma, aturan, serta
kultural kognitifnya yaitu bagaimana petani memahami kondisi yang dihadapinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar